You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Lewintana
Desa Lewintana

Kec. Soromandi, Kab. Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Selamat Datang di Website Resmi Desa Lewintana Kecamatan Soromandi Kabupaten Bima - NTB

Masukan Pemerintah Desa ke dalam Sistim Pemerintahan Formal

Administrator 18 Desember 2023 Dibaca 50 Kali
Masukan Pemerintah Desa ke dalam Sistim Pemerintahan Formal

MASUKKAN PEMERINTAH DESA KE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN FORMAL SEBAGAI DAERAH OTONOM KECIL ATAU DAERAH OTONOM KABUPATEN, TIDAK TERUS DIPERTAHANKAN SEBAGAI INSTRUMEN STATE CORPORATISM

 

Penulis: Prof. Dr. Hanif Nurcholis, M.Si  (Guru Besar Universitas Terbuka) 

Awal tahun 2023 ini masyarakat dihebohkan oleh demonstrasi ribuan kepala desa yang menuntut masa jabatannya dirubah menjadi 9 tahun dan dapat dipilih kembali untuk tiga kali masa jabatan. Perangkat desa juga tidak mau kalah. Mereka menuntut diangkat menjadi ASN karena di bawah UU No. 6/2014 status kepegawaiannya tidak jelas: bukan ASN, bukan pegawai kontrak, juga bukan pegawai honorer pemerintah. Mereka juga menolak revisi UU No. 6/2014 yang akan merubah masa jabatan perangkat desa sama dengan masa jabatan kepala desa. 

Sejak zaman penjajahan sampai sekarang pemerintah desa diatur sebagai pemerintah semu/palsu. Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Raffles 1814 hanya mengatur kepala desa dipilih langsung dengan tugas utama menarik pajak bumi (land rent). Peraturan Gubernur Jenderal Van Den Bosch 1830 mengatur kerja paksa, merubah tanah milik orang desa menjadi tanah komunal, dan menjadikan kepala desa sebagai mandor rakyat. RR 1854 pasal 71 mengatur kepala desa sebagai tussenperson (pejabat perantara). Di bawah UU Desa 1906 (IGO 1906) jo. Staadsblad No. 83/1906 tentang rumah tangga desa jo. Staadsblad No. 212/1907 tentang pemilihan dan pemberhentian kepala desa, komunitas desa dijadikan badan hukum pribumi dan kepalanya diangkat sebagai pejabat tidak resmi dengan tugas mengawasi rakyat desa dan melaksanakan tugas pemerintah atasan. 

Semua beleid tersebut hanya berupa Negara mengkooptasi lembaga desa. Desa tidak dijadikan satuan pemerintahan formal paling bawah. Model pemerintahan ini disebut pemerintahan tidak langsung (indirect bestuurd gebied). Perlu diketahui pemerintah kolonial membentuk dua model pemerintahan: 1) langsung (direct bestuurd gebied) dan 2) tidak langsung (indirect bestuurd gebied). Pemerintahan langsung adalah negara memerintah langsung melalui pejabatnya yang terstruktur-hirarkis: gubernur jenderal, gubernur, residen, Bupati, wedana, dan camat. Adapun pemerintahan tidak langsung adalah Negara mengkooptasi lembaga komunitas asli (inheems gemeenschap) yang sudah ada dengan cara menjadikan lembaga komunitas asli sebagai badan hukum dan mengangkat kepalanya menjadi tussenperson/mediator di bawah kontrol asisten wedana. 

Berdasarkan Osamu Seirei No. 27/1942 jo. Osamu Seirei No. 7/1944 penjajah Jepang merubah total struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. Aiko Kurasawa (1998) dalam disertasinya di Cornell University dengan judul "Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java 1942-1945" menjelaskan bahwa penjajah Jepang menghapus pemerintahan desa asli lalu mengganti dengan pemerintahan desa baru yang diimpor dari negaranya yaitu buraku. Pemerintah desa di Jawa yang semula terdiri atas lurah yang dibantu oleh carik, kamituwo, ulu-ulu, bayan, modin, bekel, dan kepetengan dihapus lalu diganti dengan kuchoo yang dibantu oleh juru tulis, mandor, azochoo, tonarigumichoo, heiho, keibodan, fujinkai, dan seinendan. Organisasi baru di desa ini difungsikan sebagai alat memobilisasi dan mengontrol rakyat desa untuk membantu perang melawan Sekutu. 

Kebijakan Jepang terhadap Desa berbeda dengan Belanda. Belanda hanya mengkooptasi lembaga komunitas asli yang sudah ada tanpa melakukan perubahan apapun sedangkan Jepang menghapus lembaga komunitas asli yang sudah ada kemudian mengganti dengan lembaga baru yang diimpor dari negaranya. Akan tetapi, kedua penjajah itu sama-sama menempatkan pemerintah desa di luar struktur pemerintahan formal. Menurut Philippe Schmitter (1974) organisasi kemasyarakatan yang dibentuk negara kemudian dipakai untuk kepentingan politik dan ekonominya disebut state corporatism (korporatisme negara). Korporatisme negara adalah pembentukan organisasi kemasyarakatan oleh negara untuk dijadikan alat menyukseskan program politik dan ekonominya. Pembentukan korporatisme negara adalah ciri khas negara totaliter. 

Pada zaman merdeka, dua puluh tahun pertama pemerintah desa dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal, tidak di luar sistem. Di bawah UU No. 22/1948 jo. UU No. 1/1957 jo. UU No. 18/1965 jo. UU No. 19/1965 komunitas asli (desa, nagari, marga, gampong, dll.) dimasukkan ke dalam administrasi pemerintah daerah otonom. Di bawah UU No. 19/1965 desa, nagari, dan lain-lain dijadikan satuan pemerintahan formal sebagai daerah otonom kecil dengan nomenklatur Desapraja. Pada 1966-1967, UU No.19/1965 tentang Desapraja diujicobakan. Akan tetapi TNI AD yang mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno menemukan data bahwa sebagian besar pengurus Organisasi Pamong Desa di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur didominasi oleh pengurus PKI. TNI AD kemudian membekukan UU Nomor 19/1965 dan memecat semua kepala desa yang merangkap sebagai pengurus PKI kemudian menggantinya dengan care taker dari TNI AD. 

Pada 1969 Orde Baru menetapkan kebijakan Rencana Pembangunan Nasional. Regim memerlukan pemerintahan yang stabil, efektif, dan efisen. Orde Baru dihadapkan pada empat pilihan model pemerintahan: (1) sentralistis ala Hindia Belanda, (2) sentralistis militeristis ala penjajah Jepang, (3) demokratis desentralistis ala UU No. 22/1948 jo. UU No. 1/1957, dan (4) desentralisisasi yang sentralistis ala Penpres No. 6/1959 jo. UU No. 18/1965 jo. UU No. 19/1965. Pilihannya jatuh pada model kedua karena model inilah yang dapat menjamin stabilitas nasional dan keberhasilan proyek-proyeknya. Orde Baru kemudian mengundangkan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Dua UU ini adalah revitalisasi IGO 1906 jo. Bestuurhervormingwet 1922 jo. IS 1925 jo. Osamu Seirei No. 27/1942 dan Osamu Seirei No. 7/1944.  

Pemerintah desa di bawah UU No. 5/1979 hanya copy paste pemerintah ku zaman penjajahan Jepang. UU ini hanya merubah nomenklaturnya saja dengan tambahan lembaga baru. Ku menjadi pemerintah desa, juru tulis menjadi sekretaris desa, mandor menjadi kepala urusan, azachoo menjadi ketua RW, tonarigumichoo menjadi ketua RT, heiho menjadi HANRA, keibodan menjadid KAMRA, fujinkai menjadi PKK, dan seinendan menjadi Karang Taruna. Adapun tambahan lembaga baru adalah LMD (lembaga Musyawarah Desa), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), P3A (Perkumpulan Petani Pengguna Air), KPD (Kader Pembangunan Desa), dan POSYANDU (Pos Pelayanan Terpadu). Dengan demikian, semua lembaga komunitas asli di Indonesia yang di bawah IGO 1906 masih eksis menjadi terhapus. 

Sama dengan zaman Jepang pemerintah desa yang dibentuk melalui UU No. 5/1979 bukan satuan pemerintahan formal tapi lembaga korporatisme negara. Orde Baru menggunakan pemerintah desa bentukannya untuk menyukseskan kebijakan politik dan ekonomi desa: Golkarisasi massa, indoktrinasi P4, modernisasi desa, swasembada pangan melalui program BIMAS, rehabilitasi irigasi, politik massa mengambang, Keluarga Berencana, dan program transmigrasi. Untuk menyukseskannya pemerintah mengalokasikan Dana Desa yang bernama Bandes (bantuan desa) dan IDT (Inpres Desa Tertinggal) dari APBN.  

Setelah Orde Baru jatuh, pemerintah desa diatur dalam UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 jo. UU No. 6/2014. Tiga UU ini substansinya sama dengan UU No. 5/1979. UU No. 6/2014 hanya menambah tiga lembaga baru: (1) Badan Permusyawaratan Desa (BPD), (2) Musyawarah Desa, dan (3) Pendamping Desa. Statusnya sama yaitu sebagai lembaga korporatisme negara, bukan satuan pemerintahan formal baik sebagai daerah otonom (local self-government) maupun sebagai wilayah administrasi (local state-government). Karena hanya sebagai korporatisme negara maka kepala desa bukan pejabat negara dan perangkat desa bukan ASN. Kepala desa hanya sebagai pejabat korporatis di bawah kendali negara sedangkan perangkat desa hanya sebagai perangkat korporatisme negara. Fungsinya sama yaitu alat pemerintah pusat untuk memobilisasi dan mengontrol rakyat desa demi menjalankan program politik dan ekonomi Negara. Tugasnya sama yaitu melaksanakan program dan proyek pemerintah pusat dengan dana dari APBN (Dana Desa dan dana kementerian dan lembaga pusat) dan APBD (Alokasi Dana Desa).  

Jadi, rakyat desa sejak sebelum merdeka sampai sekarang diurus oleh lembaga korporatisme negara yang awalnya dibentuk oleh penjajah Jepang. Rakyat desa tidak diberi barang publik dan jasa publik yang diperlukan. Rakyat desa hanya dijadikan obyek eksplotasi negara dan tempat buang proyek dari Kemendes dan K/L lain di Jakarta. 

SARAN KEPADA DPR DAN PEMERINTAH

Sudah waktunya Negara membentuk pemerintah formal di desa untuk mengurus kebutuhan rakyat desa. Kembalilah pada konsepsi Yamin, Soepomo, Hatta, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo yang kemudian dinormakan dalam UUD 1945 Pasal 18, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, dan UU No. 19/1965. UUD 1945 Pasal 18 dan semua UU ini mengatur daerah otonom yaitu daerah otonom besar (provinsi dan kota raya), daerah otonom sedang (kabupaten dan kotamadya), dan daerah otonom kecil (desa, nagari, marga, gampong, dll dan kotapraja). Di sini Desa bukan lembaga korporatisme negara sebagaimana zaman Jepang tapi sebagai daerah otonom kecil dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan komunitas desa baik urusan asli yang direkognisi/erkend maupun yang didesentralisasikan. 

Dengan demikian, status kepala desa dan perangkat desa menjadi jelas: sebagai kepala daerah otonom kecil dan sebagai perangkat daerah otonom kecil, bukan sebagai alat pemerintah pusat untuk memobolisasi dan mengontrol rakyat desa dalam model state corporatisme.

Alternatif lain adalah Desa dimasukkan ke dalam struktur pemerintah daerah otonom kabupaten. Desa di bawah hirarki Pemkab sebagai unit pelaksana terbawah yaitu sebagai Kelurahan.